Jumat, 29 Mei 2009

Panas Bumi Gunung Tampomas Diperebutkan 15 Investor

SUMEDANG - Panas bumi di sekitar pemandian Cipanas di kaki Gunung Tampomas yang termasuk ke wilayah Desa Cipanas, Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, kelak akan dikelola menjadi geo thermal?



PDAM Sumedang Akan Cari Sumber Air Lain Jum'at, 22 Mei 2009 , 11:03:00

SUMEDANG, (PRLM).- Menyusul adanya penolakan atas rencana pengambilan air dari air Curug Ciputrawangi, di Desa Narimbang, Kec. Conggeang, Kab. Sumedang oleh masyarakat desa tersebut, pihak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Sumedang, kini tengah mencari sumber air lain sebagai alternatif. Pihak PDAM Sumedang melalui Kepala Bidang Teknik Rd. Moch. Taufik, menyatakan, jika masyarakat di Desa Narimbang tetap menolak rencana itu, PDAM Sumedang tidak akan memaksakan untuk melaksanakan rencana tersebut.

Namun, menurut Taufik, pihaknya sementara ini belum sampai memupus rencana tersebut, karena penolakan dari masyarakat itu sendiri baru disampaikan secara lisan pada saat pihaknya melakukan sosialisasi rencana itu. "Untuk memutuskan jadi tidaknya rencana kami itu dilaksanakan, kami masih menunggu surat pernyataan resmi dari masyarakat di desa itu. Apa benar menolak atau bisa menerima rencana kami itu," ujar Taufik, Jumat (22/5).

Ditanya bagaimana jika masyarakat Desa Narimbang tetap menolak rencana pihaknya itu, Taufik menyebutkan pihaknya kini tengah mencari dan telah menemukan beberapa sumber air lain sebagai alternatif. Di antaranya, sumber air di sekitar kaki Gunung Tampomas yakni, untuk pengembangan usaha pengelolaan air bagi masyarakat di beberapa desa di wilayah Kec. Conggeang dan sekitarnya.

Untuk itu, PDAM Sumedang belum lama ini telah menjajaki dan merencanakan mengambil air sebagai sumbernya dari Curug Ciputrawangi di desa Narimbang. Namun, sebagaimana diberitakan sebelumnya, rencana tersebut ternyata ditolak tegas oleh masyarakat di desa tersebut. Bahkan masyarakat di desa itu, telah menyatakan dan meminta kepada pihak pemerintah desanya untuk tidak mau dilobi menyutujui rencana PDAM itu, karena mereka meyakini dampaknya akan mengganggu pasokan air terhadap areal persawahan dan ladang pertanian masyarakat di Desa Narimbang.(A-91/A-147)***

KENAPA KAMI MENOLAK!

" PDAM selaku pengelola tunggal di suatu kawasan kabupaten dan kota menjadikan PDAM memonopoli pengelolaan dari sumber air sampai ke pelayanan air bersih kepada pelanggan. Sifat monopoli itu di dukung oleh UUD 45 terutama pasal 33 ayat 3 : Bumi, air , dan tanah dan kekayaan alam yang terkandung didalamnnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Pedoman dari UUD 45 kemudian 'Belum' memberikan jaminan pelayanan yang baik dari PDAM kepada pelanggannya, penggunaan kata-kata digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat tidak dapat diwujudkan, akibat PDAM tidak dapat merumuskan permasalahan dengan baik dan perumusahn masalah yang buruk akan memunculkan sesuatu permasalahan yang baru sehingga beban masalah yang ditanggung menjadi semakin berat. Sifat monopoli akan mendukung persaingan yang tidak sehat dalam pelayanan air bersih disuatu daerah, pengelola tunggal tersebut akan membuat sistim yang tidak transparan dan seringkali sulit untuk berbenah diri, keadaan tersebut semakin membuat PDAM terpuruk dalam pelayanan air bersih untuk rakyat, beban hutang PDAM kepada Bank Dunia mengkhawatirkan kongsi Privatisasinya PDAM "

KAMI MENOLAK !
Rencana pengelolaan Ciputrawangi oleh PDAM yang akan menghabiskan dana 8 M ini hanya akan menghasilkan beban hutang negara!PEMDA Sumedang dalam hal ini sebelumnnya tidak melakukan studi dan musyawarah tentang tingkat kebutuhaan masyarakat di Desa Narimbang terhadap pengelolaan air sehingga nampak dipaksakan dan terburu-buru dan sama sekali tidak di kehendaki rakyat (baca. terburu-buru untuk segera 'mengerogoti anggaran').
Jaminan dari PDAM untuk pemenuhan air kedapan tidak ada, sehingga menimbulkan kehawatiran masyarakat akan kekurangan air di kemudian hari mengingat debet air Ciputrawangi yang sekitar 200 liter/detik hanya pas-pasan untuk digunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari, bertani dan budidaya perikanan kini akan diminta oleh PDAM sekitar100 liter/detik untuk di 'dagangkan'sehingga ketakutan masyarakat akan kekuranga air menjadi alasan utama penolakan. Selain itu adanya kehawatiran terhadap kelestarian hutan di wilayah G. Tampomas, dikarenakan akan hilangnya tanggung jawab masyarakat terhadap pentingnnya menjaga kelestarian hutan di G. Tampomas akan pupus padahal selama ini sudah berjalan mengingat adanya kesadaran, tanggung jawab masyarakat untuk kebutuhan air itu sendiri. Dengan segala kekuatan dan pengetahuan yang terbatas kami masyarakat mayoritas Narimbang akan tetap menolak!

Dukungan dari baraya sekalian sangat kami harapkan akan
menjadi kekuatan bagi kami!

WARGA TOLAK RENCANA PDAM

Terkait Pengambilan Air di Curug Ciputrawangi Sumedang

Sumedang, (PR).-
Warga Desa Narimbang Kecamatan Congeang Kabupaten Sumedang menolak rencana Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtamedal Sumedang mengambil air baku dari mata air Curug Ciputrawangi yang berada di desa mereka. Warga khawatir areal sawah mereka kekeringan bila PDAM mengambil air dari mata air tersebut.

Kepala Desa Narimbang, Sukria, ditemui "PR" Selasa (19/5) menyebutkan, sumber air Ciputrawangi selama ini merupakan andalan pemasok air terhadap sejumlah blok areal pesawahan dan lahan pertanian masyarakat di desanya. Seperti areal pesawahan di

Beberapa blok pesawahan yang mengandalkan airnya dari mata air Curug Ciputrawangi adalah blok Sawah Kidul, Gununganyar, Sinapeul, Kadu, Sawahmuncang, dan Blok Sawahjauh.

"Selain itu air dari Ciputrawangi juga selama ini dimanfaatkan dan menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga di desa kami ini," ujar Kades Sukria.

Sebelumnya, pihak PDAM Sumedang pada saat menyosialisasikan rencana pengambilan air di Desa Narimbang Kamis pekan kemarin, menyebutkan berdasarkan hasil penelitian konsultan debit sumber air Narimbang cukup besar. Dengan kisaran debit sekitar 250 liter per detik pada musim hujan, dan pada musim kemarau sekitar 220 liter/detik.

Pihak PDAM dalam sosialisasi yang dihadiri masyarakat dan aparat desa serta Badan Permusyawaratan Desa Narimbang itu, menyatakan dari debit yang ada sebesar itu PDAM hanya akan mengambil antara 50 hingga 95 liter/detik.

Pihak PDAM meyakinkan pengambilan air oleh pihaknya dengan debit sebesar itu tidak akan mengganggu kebutuhan air bersih dan pertanian masyarakat Desa Narimbang.

Kendati demikian, masyarakat Desa Narimbang dalam sosialisasi tersebut kompak menyatakan menolak rencana PDAM tersebut. Bahkan, menurut anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Rizal, dan Kades Narimbang Sukria, hingga saat ini masyarakat di desanya masih tetap dalam pendiriannya menolak rencana PDAM tersebut.

"Untuk rencana itu, PDAM juga sempat menawarkan akan memberi kontribusi ke desa kami, tetapi masyarakat di desa kami tetap menolak rencana itu," ujar Sukria, dibenarkan Rizal, dan Kepala Urusan Umum Desa Narimbang Sunarya.

Atas adanya penolakan tersebut pihak Pemerintah Desa dan masyarakat Narimbang mengarahkan kepada PDAM untuk mengambil air dari sumber air Lebaksintok di sekitar Ciputrawangi. Sementara itu, Plt. Direktur PDAM Sumedang Ai Warsih, seusai sosialisasi pihaknya di desa itu menyatakan PDAM Sumedang memang berminat dan miliki rencana untuk mengambil dan mengelola sumber air Ciputrawangi. Namun, sementara ini belum sampai memastikan untuk melaksanakannya. (A-91)***


Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Rabu 20 Mei 2009

PERANAN GUNUNG BAGI MASYARAKAT PADA MASA KLASIK AKHIR DI KAWASAN SUMEDANG

Nanang Saptono



Sari

Konsep kosmogoni dalam ajaran Brahma dan Buddha menyatakan bahwa alam semesta berpusat pada Mahameru. Implementasi konsep ini terdapat pada pengagungan terhadap gunung. Masyarakat masa klasik akhir di Sumedang memandang Gunung Tampomas sebagai gunung suci. Pemukiman masyarakat berada di sisi utara hingga timur Gunung Tampomas. Pada masa Islam masuk di Sumedang, gunung atau bukit di sekitar lokasi pemukiman disamakan dengan gunung suci.


Abstract

Cosmogony Concept in Brahma and Buddhism are expresses that centre of the universe are the
Mahameru. The implementation of this concept are exalting of the mountain. The Sumedang society in the late classical period look into Tampomas as a holy mountain. The settlement people reside in north side till east of the Mount Tampomas. At a period of Islam coming in Sumedang, hill or mount around settlement location be equalled with a holy mountain.


Kata Kunci: Mahameru, gunung suci, kosmogoni, pemukiman



Pendahuluan
Gunung merupakan unsur alam yang sangat penting dalam konsep kehidupan manusia. Karena begitu sangat pentingnya gunung bagi kehidupan, hingga Betara Guru perlu memerintahkan Yaksa untuk memindahkan Gunung Mahameru di Jambudwipa ke Pulau Jawa. Pemindahan ini dilakukan karena Pulau Jawa diombang-ambingkan ombak samudera. Setelah gunung itu berhasil dipindahkan, Parameswara memerintahkan seluruh dewa untuk memujanya (Pigeaud, 1924: 129). Peranan gunung dalam simbolisme kehidupan terlihat dalam landasan kosmogoni kerajaan-kerajaan kuna di Asia Tenggara. Robert von Heine Geldern (1982: 1–5) dalam menelaah konsepsi ini mendapatkan gambaran bahwa kerajaan kuna di Asia Tenggara pada umumnya mempunyai kepercayaan akan adanya keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Konsep kosmogoni ini berdasar pada doktrin agama Brahma dan Buddha. Menurut doktrin Brahma, jagad merupakan benua berbentuk lingkaran yang disebut Jambudwipa. Di tengah Jambudwipa berdiri kokoh Gunung Meru. Jambudwipa dikelilingi tujuh samudera dan tujuh benua lainnya. Di luar samudera terakhir terdapat jajaran pegunungan.

Menurut doktrin Buddha, Gunung Meru sebagai pusat jagad raya, dikelilingi tujuh barisan pegunungan masing-masing dipisahkan tujuh samudera. Di luar jajaran pegunungan yang paling luar terletak lautan. Di lautan ini terdapat empat benua yang berada pada empat penjuru mata angin. Benua yang berada di sebelah selatan Gunung Meru adalah Jambudwipa tempat tinggal manusia. Konsep kosmogoni antara doktrin Brahma dan Buddha terdapat sedikit perbedaan, namun pada intinya sama yaitu bahwa alam semesta berpusat pada meru. Pada kehidupan kenegaraan, konsep kosmogoni disimbolkan pada jumlah negara bawahan dan struktur birokrasi (Sumadio, 1990: 189–190). Dengan mengikuti pola sesuai dengan konsep kosmogoni, kerajaan dipandang sebagai implementasi jagad raya. Kota sebagai unsur kerajaan (negara) strukturnya juga menganut konsep kosmogoni.

Struktur kota yang berpusat pada gunung tampaknya merupakan model universal. Banyak kota menyimbolkan sebagai tengah-tengah dunia, pusar dunia, poros dunia, dan seterusnya. Sebagai contoh, kota-kota Romawi merupakan gambaran duniawi dari suatu citra surgawi di mana menggabungkan poros dunia dengan pembagian atas dunia menjadi empat bagian didasarkan atas Roma. Kota-kota Cina zaman kuna dibangun dengan tata ruang, kanal dan jembatan, tembok dan benteng, jaringan jalan, letak pusat dan daerah, serta keadaan lingkungan kota menggambarkan simbol kosmologi. Kota Khmer di Kamboja seperti Angkor Thom mengikuti kosmologi Hindu. Bagian pusat kota merupakan bukit suci. Benteng dan parit pertahanan meniru alam semesta. Kota-kota suku Yoruba di Afrika, kota bangsa Aztec seperti Tenochtitlan dan kota bangsa Maya seperti Cozumel juga mencerminkan simbol kosmologi (Rapoport, 1985: 28–31).

Di Indonesia pada zaman Mataram kuna, struktur ketatanegaraan yang tersirat pada prasasti Canggal mengandung petunjuk adanya konsep kosmologi. Raja Sanjaya dipersamakan sebagaimana Raghu yang telah menaklukkan raja-raja yang mengelilinginya. Kebesaran Raja Sanjaya dilukiskan bagaikan meru yang menjulang tinggi, kaki-kakinya diletakkan jauh di atas kepala raja-raja yang lain. Selama ia memerintah, dunia berikatpinggangkan samudera dan berdada gunung-gunung (Sumadio, 1990: 99).

Konsep tentang meru sebagai pusat kosmos dipakai terus hingga masa Mataram Islam. Negara berpusat pada inti kekuatan yang disusun sebagaimana lingkaran konsentris. Ibukota kerajaan yang disebut kuthagara merupakan tempat kedudukan keraton. Di sekelilingnya terdapat wilayah yang disebut negara agung, selanjutnya mancanagara dan wilayah pasisir (Behrend, 1982: 170–172). Wilayah kuthagara sebagai pusat wilayah kerajaan, disusun mengikuti konsep mikrokosmos. Keraton dibangun menurut orientasi kosmis dengan sumbu pada Gunung Merapi dan laut selatan.

Konsep tentang meru tidak sebatas diimplementasikan dalam simbol-simbol kenegaraan. Dalam pertunjukan wayang kulit, replika gunung yang disebut gunungan atau kekayon, selalu digunakan untuk mengawali dan mengakhiri secara menyeluruh atau sebagian adegan (Behrend, 1982: 168). Lakon dalam wayang merupakan gambaran perjalanan hidup manusia. Karena begitu pentingnya arti gunung bagi kehidupan manusia maka seakan-akan perjalanan hidup manusia diawali dan diakhiri oleh gunung. Prasasti Pucangan (Sumadio, 1990: 175–177) menyiratkan bagaimana Dharmmawangsa Airlangga mengakhiri penderitaan akibat serangan Haji Wurawari dan memulai menata kehidupan baru kerajaan, di wanagiri yaitu hutan di lereng gunung.

Peristiwa hampir serupa juga terjadi pada masa akhir Kerajaan Pajajaran. Pada sekitar tahun 1575, Sumedanglarang yang merupakan kerajaan kecil bawahan Kerajaan Pajajaran berusaha melepaskan diri. Peristiwa itu sering disebut dengan istilah Burak Pajajaran (Jubaedah, 2005: 18–19). Menurut Nina H. Lubis (2000: 73) Kerajaan Sumedanglarang menjadi kerajaan berdaulat karena runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran yang terjadi pada tahun 1579. Catatan Lucas Partanda Koestoro (1987: 36), berdasarkan cerita rakyat menyebutkan ketika Pakwan Pajajaran diserang pasukan Banten, Prabu Siliwangi mendatangi Sumedanglarang. Kedatangannya diikuti empat orang patih di antaranya adalah Sayang Hawu atau dikenal juga dengan sebutan Embah Jayaperkosa. Di Sumedanglarang, Sayang Hawu diperintahkan menyerahkan pusaka keraton berupa mahkota emas kepada Prabu Geusan Ulun. Prabu Siliwangi kemudian menuju puncak Gunung Tampomas menjalankan semedi. Di sanalah beliau ngahiang sesuai dengan apa yang diajarkan agama yang dianutnya. Berdasarkan peristiwa ini tergambar bahwa konsep kosmogoni juga menjadi landasan bagi kehidupan di Sumedang. Permasalahan yang muncul bagaimanakah peran Gunung Tampomas dalam struktur permukiman di kawasan Sumedang dalam kaitannya dengan konsep kosmogoni tersebut.


Sumedang Dalam Historiografi Tradisional
Secara umum wilayah Sumedang merupakan dataran tinggi beriklim tropis dengan curah hujan tinggi. Luas wilayah Sumedang 1.421,82 km2. Di dalam Babad Sumedang pupuh Sinom bait ke-5 terdapat uraian mengenai kondisi alam. Disebutkan bahwa Sumedang tempo dulu beribukota di Kutamaya. Di sebelah selatan terdapat Gunung Kecapi. Di sebelah utara terdapat Gunung Palasari. Di pinggir kota ada sungai. Kawasan sebelah selatan merupakan daerah pedataran tinggi. Dari sana dapat melihat daerah sekelilingnya. Gambaran ini merupakan kondisi kota Sumedang (Kutamaya) pada masa Pangeran Geusan Ulun yaitu sekitar awal abad ke-16 (Jubaedah, 2005: 15–16).

Pada masa sebelumnya di Sumedang dikenal adanya Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedanglarang (Lubis, 2000: 71 – 78). Lokasi pusat kerajaan ini sekarang berada di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja. Menurut historiografi tradisional, kerajaan ini didirikan oleh Batara Tuntang Buana. Sebelum mendirikan kerajaan, Batara Tuntang Buana memperdalam ilmu kasumedangan*) di Gunung Mandalasakti. Pendalaman ilmu yang dilakukan Batara Tuntang Buana mengakibatkan Gunung Mandalasakti terbelah. Berkat kesaktian Batara Tuntang Buana, gunung yang terbelah tersebut dibalut (disimpay) sehingga tidak hancur. Gunung Mandalasakti yang terletak di Kecamatan Situraja kemudian dikenal dengan nama Gunung Simpay. Setelah selesai mendalami ilmu kasumedangan, Batara Tuntang Buana mendirikan Kerajaan Sumedanglarang. Ketika naik tahta kerajaan Batara Tuntang Buana mendapat nama Prabu Taji Malela. Pendirian kerajaan ini berlangsung pada sekitar tahun 900.

Prabu Taji Malela digantikan oleh anaknya yang bernama Prabu Gajah Agung. Pada masa ini pusat kerajaan di Ciguling. Prabu Gajah Agung kemudian digantikan oleh Sunan Pagulingan. Ketika pemerintahan berada di bawah Sunan Pagulingan, terjadi perkawinan politis antara Ratu Rajamantri, puteri Sunan Pagulingan, dengan Prabu Siliwangi, Raja Sunda Pajajaran. Sejak perkawinan ini Kerajaan Sumedanglarang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Sunan Pagulingan digantikan oleh Ratu Rajamantri selanjutnya digantikan oleh Sunan Guling. Pada masa pemerintahan Pangeran Pamelekaran, pusat kerajaan dipindahkan ke Kutamaya.

Ketika Sumedanglarang di bawah kepemimpinan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Sunda Pajajaran mengalami masa surut. Prabu Geusan Ulun mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Usaha ini mendapat tekanan dari Banten yang sebelumnya sudah berhasil memerangi Kerajaan Sunda Pajajaran. Menghadapi tekanan tersebut, Sumedanglarang mencari dukungan ke Cirebon. Pada masa ini pusat kerajaan dipindahkan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur yang berada pada kawasan perbukitan.

Pada tahun 1610 Geusan Ulun wafat. Kepemimpinan kerajaan Sumedanglarang kemudian digantikan oleh Aria Suriadiwangsa I. Suksesi ini sepertinya tidak berjalan lancar, karena putra Geusan Ulun lainnya yang bernama Rangga Gede juga diangkat menjadi penguasa Sumedanglarang. Perpindahan pusat kerajaan terjadi lagi. Aria Suriadiwangsa memindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegalkalong, sedangkan Rangga Gede memindahkan ke Canukur.


Beberapa Tinggalan Arkeologis
Berdasarkan historiografi tradisional, tercatat beberapa pemukiman yang juga sebagai pusat kerajaan Sumedanglarang yaitu Tembong Agung, Ciguling, Kutamaya, Dayeuh Luhur, Tegalkalong, dan Canukur. Jejak-jejak arkeologis di beberapa lokasi yang disebutkan sumber historiografi sudah sulit diketahui. Tinggalan arkeologis di kawasan Sumedang kebanyakan berupa makam-makam tokoh seperti makam Prabu Taji Malela di Gunung Lingga, makam Prabu Gajah Agung di Cicanting, Darmaraja, makam Sunan Pagulingan dan Sunan Guling di Ciguling, serta makam Sunan Tuakan di Heubeul Isuk, Pasanggrahan.

Di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Darmaraja yang disebut-sebut sebagai lokasi Kerajaan Tembong Agung, sangat sedikit mengandung fakta arkeologis indikator pemukiman. Lokasi ini berada di sebelah barat aliran Sungai Cimanuk. Jejak pemukiman yang ada berupa sebaran fragmen keramik asing dan lokal yang berada pada kebun penduduk di perkampungan. Keramik yang pernah ditemukan merupakan keramik Cina masa dinasti Qing.


Makam keramat dan jejak tatanan batu
membentuk bangunan berundak di Pasir Limus


Di sebelah utara perkampungan terdapat bukit kecil yang disebut Pasir Limus. Pada puncak bukit terdapat makam keramat. Tokoh utama yang dimakamkan adalah Eyang Jamanggala. Makam berpagar bambu. Jirat makam berupa tatanan batu berdenah empat persegi panjang. Nisan berupa batu alam tanpa dimodifikasi. Di sebelah tenggara makam utama terdapat makam Eyang Istri Ratna Komala Inten. Jirat makam juga berupa tatanan batu alam berdenah empat persegi panjang. Nisan dari batu alam. Di sebelah timur kedua makam ini terdapat monolit. Di sebelah barat daya makam Eyang Jamanggala terdapat beberapa makam kuna yang ditandai dengan nisan batu alam. Di sebelah timur kelompok makam ini terdapat monolit. Pada bagian komplek makam ini terdapat jejak tatanan batu membentuk bangunan berundak.

Di sebelah timur kelompok makam ini berjarak sekitar 25 m terdapat makam keramat yang ditandai dengan kumpulan batu. Makam ini berada di bawah pohon beringin. Tokoh yang dimakamkan adalah Eyang Jayaraksa atau dikenal juga dengan sebutan Eyang Nanti. Makam ini disebut juga petilasan Tilem.

Di sebelah timur perkampungan juga terdapat komplek makam yang dikeramatkan. Komplek makam dikelilingi parit kecil. Jalan masuk berada di sisi selatan. Tokoh yang dimakamkan adalah Eyang Marapati dan Eyang Martapati. Makam Eyang Marapati berada di bagian barat. Kondisi makam berpagar bambu. Jirat makam berupa tatanan batu berdenah empat persegi panjang. Pada bagian selatan, tatanan batu tersebut agak menonjol. Jirat dilengkapi nisan dari batu alam. Makam Eyang Martapati berada di sebelah timur makam Eyang Marapati berjarak sekitar 20 m. Kondisi makam juga berpagar bambu. Jirat berupa tatanan batu berdenah empat persegi panjang. Bila dibandingkan dengan jirat makam Eyang Marapati, volume batu jirat makam Eyang Martapati lebih sedikit. Nisan makam Eyang Martapati juga berupa batu alam.

Di sepanjang aliran Sungai Cimanuk masih banyak lagi situs yang berupa makam kuna yang dikeramatkan. Kebanyakan situs tersebut dikaitkan dengan Kerajaan Sumedanglarang atau masa-masa sesudahnya. Pada umumnya situs berada pada puncak bukit. Situs-situs yang berasal dari masa yang lebih tua terdapat di Gunung Tampomas, Kecamatan Buah Dua dan di Desa Narimbang, Kecamatan Congeang. Di Gunung Tampomas terdapat dua objek situs arkeologi yaitu di Sanghiang Taraje dan Puncak Manik sedangkan di Narimbang terdapat lokasi yang disebut Blok Candi.

Beberapa peninggalan arkeologis yang terdapat di kawasan Gunung Tampomas pernah beberapa kali diteliti. N.J. Krom pada tahun 1914 pernah mencatat adanya bangunan berundak dari batu-batu terdiri empat teras. Untuk mencapainya melalui sebuah tangga batu. Di puncak bangunan berundak terdapat patung Ganesha, batu dengan tanda bekas kaki dan enam benda kecil antara lain berbentuk genta dan satu lagi berbentuk landasan (Krom, 1915: 65).

Pada bulan Januari 1987, Lucas Partanda Koestoro dari Laboratorium Paleoekologi dan Radiometri, Bandung (sekarang Balai Arkeologi Bandung) mengadakan penelitian deskriptif terhadap peninggalan di Sanghiang Taraje. Uraian hasil penelitiannya menguraikan kondisi dan dimensi bangunan berundak. Beberapa objek penting yang dicatatnya adalah arca menhir dari batuan andesit di halaman pertama, batu tatapakan (umpak), batu ajeg (batu yang didirikan tegak), dan batu kasur yang terdapat di halaman ketiga (Koestoro, 1987: 38–39). Di sebelah tenggara Sanghiang Taraje terdapat situs Puncak Manik. Di Puncak Manik terdapat objek berupa arca Ganesha, arca binatang dan sebuah bentuk tumpeng.

Arca Ganesha yang terdapat di Puncak Manik dari bahan batuan andesitik. Ganesha digambarkan secara sederhana dalam posisi duduk, tangan kiri dilipat di depan dada, tangan kanan memegang ujung belalai. Arca binatang menggambarkan harimau dan monyet. Binatang tersebut digambarkan dalam posisi sedang berjongkok. Kaki belakang ditekuk dan kaki depan lurus (Yondri, 1988).

Pada lereng sebelah timur Gunung Tampomas terdapat lokasi yang disebut Blok Candi. Secara administratif lokasi tersebut merupakan wilayah Desa Narimbang, Kecamatan Congeang. Di lokasi ini terdapat struktur teras batu berorientasi utara – selatan. Panjang 6,40 m dengan ketebalan 40 cm. Menurut keterangan masyarakat setempat pada sekitar tahun 1998 telah ditemukan arca batu.


Fragmen arca yang ditemukan di Blok Candi,
lereng timur Gunung Tampomas



Arca ini sekarang disimpan Sdr. Ifan, warga Desa Narimbang. Arca terbuat dari bahan batuan tufa berwarna kemerahan. Kondisi arca sudah tidak lengkap, pada bagian kepala patah. Ukuran tinggi 45 cm, lebar 25 cm, dan tebal 15 cm. Penggambaran sangat sederhana. Kedua tangan digambarkan dalam sikap menyilang di dada. Tangan kiri berada di atas tangan kanan. Bagian perut hingga kaki tidak digambarkan. Tepat di atas persilangan dua tangan terdapat semacam ujung belalai yang menjulur ke arah kanan.


Gunung Dalam Kehidupan Masyarakat
Gunung bagi masyarakat Sunda pada zaman klasik menduduki tempat tersendiri pada sistem religinya. Pada zaman Kerajaan Galuh, Gunung Galunggung merupakan meru bagi kerajaan. Carita Parahyangan dan Amanat Galunggung sering menyebut gunung ini. Di gunung tersebut mungkin banyak terdapat kabuyutan atau gunung itu sendiri merupakan kabuyutan bagi Kerajaan Galuh. Galunggung merupakan gunung yang disucikan oleh masyarakat Galuh baik para elite penguasa maupun rakyat kebanyakan (Munandar, 2004: 107). Kerajaan Pakuan Pajajaran menganggap Gunung Gede sebagai gunung suci. Bujangga Manik menyebut bahwa Gunung Gede (bukit Ageung) merupakan kabuyutan bagi rakyat Pakuan (Munandar, 2004: 109).

Gunung dimaknai sebagai kabuyutan terlihat pada tindakan Prabu Siliwangi dalam peristiwa Burak Pajajaran. Tindakan ini mirip dengan apa yang dilakukan Dharmawangsa Airlangga menghadapi maha pralaya dari Haji Wurawari. Perbedaannya, Prabu Siliwangi yang lari ke Gunung Tampomas tidak dalam usaha konsolidasi untuk menegakkan kembali Kerajaan Sunda Pajajaran tetapi untuk menekuni ajaran agama yang dianutnya setelah kerajaannya menghadapi kehancuran. Sedang Dharmawangsa Airlangga menuju wanagiri dalam rangka menunggu saat yang tepat untuk menegakkan kembali kerajaannya. Hal penting yang perlu dicatat adalah peranan gunung sebagai tempat untuk mendapatkan pencerahan sebagaimana halnya kabuyutan. Prabu Siliwangi di Gunung Tampomas mencari pencerahan untuk memasuki alam kedewaan dan akhirnya ngahiang, sedangkan Dharmawangsa Airlangga mencari pencerahan untuk menyusun kekuatan. Gunung Tampomas sebagai gunung suci dijadikan tujuan akhir Prabu Siliwangi untuk menuju alam kedewaan.

Beberapa tinggalan arkeologis yang terdapat di Sanghiang Taraje dan Puncak Manik menunjukkan bahwa gunung itu merupakan gunung suci. Konsepsi tentang gunung suci muncul sejak masa prasejarah. Pada masa klasik konsep tentang gunung suci ditandai dengan bangunan suci yang berada di lereng gunung. Gunung Lawu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, pada sekitar abad ke-15 juga dikenal sebagai gunung suci. Di lereng barat terdapat Candi Sukuh dan Candi Ceta. Kedua bangunan candi ini lebih menyerupai bangunan berundak. Selain kedua bangunan candi juga terdapat punden Cemoro Bulus dan Planggatan. Kedua bangunan ini berbentuk bangunan teras berundak yang lebih kecil dibandingkan dengan Candi Sukuh atau Ceta. Menurut Bernet Kempers (1959: 101) Candi Sukuh merupakan bangunan suci yang dijadikan sebagai sarana pembebasan arwah nenek moyang. Relief cerita Sudamala yang bertemakan tentang pembebasan menunjukkan bahwa pembangunan Candi Sukuh ada kaitannya dengan pembebasan. Dengan demikian, pendirian bangunan candi tersebut juga mengandung maksud penghormatan terhadap Gunung Lawu dalam rangka pembebasan jiwa. Gunung tersebut dianggap keramat sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur yang telah meninggal. Di Jawa Timur tinggalan arkeologi yang menunjukkan adanya hubungan antara bangunan suci dengan gunung tampak jelas. Di Gunung Penanggungan banyak ditemukan bangunan suci berbentuk teras berundak yang memanfaatkan kemiringan lereng atau gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan suci tersebut berasal dari sekitar abad ke-10 – 11 (Kempers, 1959: 65 – 67). Beberapa bangunan suci di lereng gunung dan Gunung Penanggungan itu sendiri erat kaitannya dengan konsep pelepasan menuju alam kedewaan.

Konsep gunung suci dan pelepasan dalam kaitannya dengan Gunung Tampomas terlihat hanya berhubungan dengan Kerajaan Sunda Pajajaran. Pada masa Kerajaan Tembong Agung -- awal mula Kerajaan Sumedang Larang -- dan masa-masa sesudahnya, tampak bahwa konsep gunung suci mengacu pada gunung atau bukit yang berada dekat dengan pusat kerajaan. Di sebelah utara lokasi bekas Kerajaan Tembong Agung terdapat situs Pasir Limus. Pada situs tersebut terdapat jejak-jejak sisa bangunan berundak dan beberapa makam kuna yang dikeramatkan. Struktur bangunan makam kuna tampak berada pada struktur bangunan berundak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bangunan makam lebih kemudian bila dibandingkan dengan bangunan berundak.

Bangunan berundak yang ada di situs Pasir Limus belum tentu menunjukkan latar religi megalitik dari masa prasejarah. Di tatar Sunda, pada masa klasik akhir antara agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan asli leluhur bercampur. Dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian, disebutkan ... ini na lakukeuneun, talatah sang sadu jati hongkara namo sewaya, sêmbah ing hulun di sanghyang pañcatatagata; pañca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda, gata ma ngaran ing raga, ya eta ma pahayuon sareanana ... (... inilah yang harus dilakukan, (yaitu) amanat Sang Baikhati (terpercaya) yang sejati. Selamatlah (hendaknya) dengan nama Siwa, menyembahlah hamba kepada Sanghyang Pañcatatagata (Buddha), pañca berarti lima, tata itu artinya sabda, gata itu artinya raga, ya itulah untuk kebaikan semuanya ...). Pada bagian lain terdapat keterangan bahwa ... mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang ... (... mangkubumi berbakti kepada ratu, ratu berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang ...). Berdasarkan keterangan tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya, keagamaan yang melatari adalah Hindu, Buddha, dan pada akhirnya unsur kepercayaan asli muncul. Kemunculan kepercayaan asli para leluhur terlihat dari keterangan dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian yang menurunkan derajat Dewata berada di bawah Hyang (Sumadio, 1990: 390 -- 392; Ayatrohaédi, 1982: 337 -- 338). Dalam kasus Kerajaan Tembong Agung tampak lebih ditekankan pada konsep pemujaan gunung suci. Pasir Limus merupakan mahameru bagi Kerajaan Tembong Agung.

Quarith Wales mengaitkan konsep Gunung Mahameru dengan pemujaan terhadap Siwa sebagai Girisa, yang memperoleh gelar sebagai penguasa gunung. Hubungan antara tanah (bumi) yang memberi kekuatan (kesuburan) dengan gunung suci adalah jelas. Hal itu disebabkan karena sakti Siwa yaitu Uma Haimawati anak perempuan dari Raja Gunung Himalaya, sebenarnya dipuja juga sebagai Dewi Gunung (Wales, 1953: 88). Pandangan tentang gunung sebagai tempat suci yang mengarah pada pemujaan gunung itu sendiri ada kaitannya dengan ajaran Siwa.

Pemilihan lokasi pusat-pusat Kerajaan Sumedanglarang sesudah masa Tembong Agung, cenderung mengandung unsur pengagungan terhadap gunung. Dengan adanya gunung suci menjadikan lokasi pemukiman masyarakat tersucikan pula. Konsepsi demikian ini sangat umum berlaku pada tatanan pemukiman tradisional. Tiap kebudayaan tradisional akan memperlihatkan suatu tatanan yang keramat, meluas dari tempat hunian (rumah) sampai ke perkampungan hingga seluruh lahan kawasan. Pada pemukiman-pemukiman tradisional, karena agama dan upacara keagamaan adalah sentral maka organisasi tersebut sering didasarkan pada hal-hal yang keramat. Dengan demikian maka memahami perkampungan tradisional menghendaki bahwa perkampungan dianggap sebagai ekspresi-ekspresi fisik ruang keramat (Rapoport, 1985: 28).

Konsepsi tentang ruang keramat dalam kaitannya dengan pemukiman, bila dihubungkan dengan keberadaan Gunung Tampomas akan didapatkan gambaran mengenai pemukiman pada masa klasik akhir di kawasan Sumedang. Di Gunung Tampomas, situs-situs yang menunjukkan bangunan sakral berada pada lereng utara dan timur. Pada bagian lereng tersebut mungkin merupakan lokasi pemukiman.

Di Desa Narimbang yang berada pada kaki Gunung Tampomas sisi timur laut terdapat lokasi yang disebut kabuyutan. Objek berupa tatanan batu terhampar. Di antara tatanan batu terdapat dua batu berdiri menyerupai nisan. Kedua batu berdiri itu beroerientasi utara – selatan. Tatanan hamparan batu berada di bagian utara batu berdiri. Objek batu berdiri dan tatanan hamparan batu itu dikelilingi pagar dari susunan batu berdenah empat persegi panjang. Pada pagar sisi timur terdapat jalan masuk. Pagar keliling ini merupakan hasil buatan masyarakat setempat. Menurut keterangan masyarakat setempat kabuyutan ini merupakan makam Sutawijaya (Hadiwisastra dan Saptono, 2005: 7).

Di desa ini juga terdapat makam keramat yang disebut Makam Sawah Kalapa. Jalan masuk menuju komplek berada di sebelah selatan. Makam tokoh utama berada di dalam bangunan cungkup, terletak di bagian timur laut komplek. Cungkup merupakan bangunan baru semi permanen berlantai ubin. Pintu masuk cungkup berada di sisi barat. Menurut keterangan, tokoh utama yang dimakamkan adalah Embah Secagati. Tokoh ini merupakan cikal bakal masyarakat kampung Narimbang. Di dalam cungkup, selain makam Embah Secagati juga terdapat makam isteri Embah Secagati. Makam Embah Secagati berada di sebelah timur, sedangkan makam isteri Embah Secagati di sebelah barat. Makam Embah Secagati maupun isterinya tidak dilengkapi jirat. Nisan sebagai tanda makam berupa batu panjang yang ditancapkan. Di luar cungkup banyak dijumpai makam baik makam lama maupun baru. Makam-makam tersebut terkonsentrasi di sebelah barat cungkup makam Embah Secagati. Kebanyakan makam tidak dilengkapi jirat, namun ada yang dibatasi dengan susunan batu berdenah empat persegi panjang. Salah satu makam yang berada di sebelah barat cungkup makam utama, susunan batu keliling berpola swastika. Nisan kebanyakan berupa batu panjang yang diberdirikan (Hadiwisastra dan Saptono, 2005: 7–8). Dengan adanya beberapa bangunan suci di Gunung Tampomas dan beberapa objek di Desa Narimbang terdapat gambaran bahwa di kawasan lereng utara hingga timur Gunung Tampomas merupakan lokasi pemukiman yang berlangsung sejak masa klasik akhir hingga masa Islam.


Simpulan
Gunung mempunyai arti penting dalam konsep kepercayaan. Gunung dipandang sebagai objek suci untuk mendapatkan pencerahan. Pada masa klasik akhir di Sumedang, yaitu masa menjelang keruntuhan Kerajaan Sunda Pajajaran. Gunung Tampomas merupakan gunung suci bagi masyarakat setempat. Peristiwa Burak Pajajaran, memberikan gambaran bahwa Gunung Tampomas merupakan gunung suci tempat Prabu Siliwangi menuju alam kedewaan (ngahiang). Beberapa tinggalan arkeologis di Sanghiang Taraje, Puncak Manik, dan beberapa objek di Desa Narimbang menunjukkan bahwa Gunung Tampomas diperlakukan sebagai Gunung Suci.

Keruntuhan Kerajaan Sunda Pajajaran mendorong berdirinya Kerajaan Sumedanglarang. Konsep kepercayaan terhadap gunung suci tetap berlanjut. Historiografi tradisional menyebutkan bahwa Batara Tuntang Buana memperdalam ilmu kasumedangan di Gunung Mandalasakti. Dalam kaitannya dengan pemukiman, terlihat ada hubungan antara konsep gunung suci dengan pemilihan lokasi pemukiman. Beberapa lokasi pusat Kerajaan Sumedanglarang berada pada kawasan perbukitan. Pada masa klasik akhir diperkirakan lokasi pemukiman berada di sekitar lereng utara hingga timur Gunung Tampomas.

Peranan Gunung bagi Masyarakat pada Masa Klasik Akhir di Kawasan Sumedang

oleh Nanang Saptono
18 March 2009



Gunung merupakan unsur alam yang sangat penting dalam konsep kehidupan manusia. Karena begitu pentingnya gunung bagi kehidupan, Bhatara Guru perlu memerintahkan yaksa untuk memindahkan Gunung Mahameru di Jambudwipa ke Jawadwipa. Pemindahan ini dilakukan karena Pulau Jawa diombang-ambingkan ombak samudra. Setelah gunung itu berhasil dipindahkan, Parameswara memerintahkan seluruh dewa untuk memujanya (Pigeaud, 1924: 129).

Peranan gunung dalam simbolisme kehidupan terlihat dalam landasan kosmogonis kerajaan-kerajaan kuno di Asia Tenggara. Robert von Heine Geldern (1982: 1-5) dalam menelaah konsepsi ini mendapatkan gambaran bahwa kerajaan kuno di Asia Tenggara pada umumnya memunyai kepercayaan akan adanya keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Konsep kosmogonis ini berdasar pada doktrin agama Brahma dan Buddha. Menurut doktrin Brahma, jagad merupakan benua berbentuk lingkaran yang disebut Jambudwipa. Di tengah Jambudwipa berdiri kokoh Gunung Meru. Jambudwipa dikelilingi tujuh samudra dan tujuh benua lainnya. Di luar samudra terakhir terdapat jajaran pegunungan.

Ada pun menurut doktrin Buddha, Gunung Meru sebagai pusat jagad raya, dikelilingi tujuh barisan pegunungan yang masing-masing dipisahkan tujuh samudra. Di luar jajaran pegunungan yang paling luar terletak lautan. Di lautan ini terdapat empat benua yang berada pada empat penjuru mata angin. Benua yang berada di sebelah selatan Gunung Meru adalah Jambudwipa tempat tinggal manusia. Konsep kosmogoni antara doktrin Brahma dan Buddha terdapat sedikit perbedaan, namun pada intinya sama yaitu bahwa alam semesta berpusat pada Meru. Pada kehidupan kenegaraan, konsep kosmogoni disimbolkan pada jumlah negara bawahan dan struktur birokrasi (Sumadio, 1990: 189-190). Dengan mengikuti pola sesuai dengan konsep kosmogoni, kerajaan dipandang sebagai implementasi jagad raya. Kota sebagai unsur kerajaan (negara) strukturnya juga menganut konsep kosmogoni.

Struktur kota yang berpusat pada gunung tampaknya merupakan model universal. Banyak kota menyimbolkan diri sebagai tengah-tengah dunia, pusar dunia, poros dunia, dan seterusnya. Sebagai contoh, kota-kota Romawi merupakan gambaran duniawi dari suatu citra surgawi di mana menggabungkan poros dunia dengan pembagian atas dunia menjadi empat bagian didasarkan atas Roma. Kota-kota Cina zaman kuno dibangun dengan tata ruang, kanal dan jembatan, tembok dan benteng, jaringan jalan, letak pusat dan daerah, serta keadaan lingkungan kota yang menggambarkan simbol kosmologik. Kota Khmer di Kamboja seperti Angkor Thom mengikuti kosmologik Hindu. Bagian pusat kota merupakan bukit suci. Benteng dan parit pertahanan meniru alam semesta. Kota-kota suku Yoruba di Afrika, kota bangsa Aztec seperti Tenochtitlan dan kota bangsa Maya seperti Cozumel juga mencerminkan simbol kosmologik (Rapoport, 1985: 28-31).

Di Indonesia pada zaman Mataram kuno, struktur ketatanegaraan yang tersirat pada Prasasti Canggal mengandung petunjuk adanya konsep kosmologis. Raja Sanjaya dipersamakan sebagaimana Raghu yang telah menaklukkan raja-raja yang mengelilinginya. Kebesaran Raja Sanjaya dilukiskan bagaikan Meru yang menjulang tinggi, kaki-kakinya diletakkan jauh di atas kepala raja-raja yang lain. Selama ia memerintah, dunia berikatpinggangkan samudra dan berdada gunung-gunung (Sumadio, 1990: 99).

Konsep tentang Meru sebagai pusat kosmos dipakai terus hingga masa Mataram Islam. Negara berpusat pada inti kekuatan yang disusun sebagaimana lingkaran konsentris. Ibukota kerajaan yang disebut kuthagara merupakan tempat kedudukan keraton. Di sekelilingnya terdapat wilayah yang disebut negara agung, selanjutnya mancanagara dan wilayah pasisir (Behrend, 1982: 170-172). Wilayah kuthagara sebagai pusat wilayah kerajaan, disusun mengikuti konsep mikrokosmos. Keraton dibangun menurut orientasi kosmis dengan sumbu pada Gunung Merapi dan Laut Selatan.

Konsep tentang Meru tidak sebatas diimplementasikan dalam simbol-simbol kenegaraan. Dalam pertunjukan wayang kulit, replika gunung yang disebut gunungan atau kekayon, selalu digunakan untuk mengawali dan mengakhiri secara menyeluruh atau sebagian adegan (Behrend, 1982: 168). Lakon dalam wayang merupakan gambaran perjalanan hidup manusia. Karena begitu pentingnya arti gunung bagi kehidupan manusia maka seakan-akan perjalanan hidup manusia diawali dan diakhiri oleh gunung. Prasasti Pucangan (Sumadio, 1990: 175-177) menyiratkan bagaimana Dharmmawangsa Airlangga mengakhiri penderitaan akibat serangan Haji Wurawari dan memulai menata kehidupan baru kerajaan di Wanagiri, yaitu hutan di lereng gunung.

Peristiwa hampir serupa juga terjadi pada masa akhir Kerajaan Pajajaran. Pada sekitar tahun 1575, Sumedanglarang yang merupakan kerajaan kecil bawahan Kerajaan Pajajaran berusaha melepaskan diri. Peristiwa itu sering disebut dengan istilah "Burak Pajajaran" (Jubaedah, 2005: 18 – 19). Menurut Nina Lubis (2000: 73) Kerajaan Sumedanglarang menjadi kerajaan berdaulat karena runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran yang terjadi pada tahun 1579. Catatan Lucas Partanda Koestoro (1987: 36), berdasarkan cerita rakyat menyebutkan ketika Pakuan Pajajaran diserang pasukan Banten, Prabu Siliwangi mendatangi Sumedanglarang. Kedatangannya diikuti empat orang patih di antaranya adalah Sayang Hawu atau dikenal juga dengan sebutan Embah Jayaperkosa. Di Sumedanglarang, Sayang Hawu diperintahkan menyerahkan pusaka keraton berupa mahkota emas kepada Prabu Geusan Ulun. Prabu Siliwangi kemudian menuju puncak Gunung Tampomas menjalankan semedi. Di sanalah beliau ngahiang sesuai dengan apa yang diajarkan agama yang dianutnya.

Berdasarkan peristiwa-peristiwa ini tergambar bahwa konsep kosmogoni juga menjadi landasan bagi kehidupan di Sumedang. Permasalahan yang muncul bagaimanakah peran Gunung Tampomas dalam struktur permukiman di kawasan Sumedang dalam kaitannya dengan konsep kosmogoni tersebut.

Sumedang dalam Historiografi Tradisional
Secara umum wilayah Sumedang merupakan dataran tinggi beriklim tropis dengan curah hujan tinggi. Luas wilayah Sumedang adalah 1.421,82 km2. Dalam Babad Sumedang pupuh Sinom bait ke-5 terdapat uraian mengenai kondisi alam. Disebutkan bahwa Sumedang tempo dulu beribukota di Kutamaya. Di sebelah selatan terdapat Gunung Kecapi. Di sebelah utara terdapat Gunung Palasari. Di pinggir kota ada sungai. Kawasan sebelah selatan merupakan daerah pedataran tinggi. Dari sana dapat melihat daerah sekelilingnya. Gambaran ini merupakan kondisi kota Sumedang (Kutamaya) pada masa Pangeran Geusan Ulun, yaitu sekitar awal abad ke-16 (Jubaedah, 2005: 15-16).

Pada masa sebelumnya di Sumedang dikenal adanya Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedanglarang (Lubis, 2000: 71-78). Lokasi pusat kerajaan ini sekarang berada di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja. Menurut historiografi tradisional, kerajaan ini didirikan oleh Batara Tuntang Buana. Sebelum mendirikan kerajaan, Batara Tuntang Buana memperdalam ilmu kasumedangan di Gunung Mandalasakti. Pendalaman ilmu yang dilakukan Batara Tuntang Buana mengakibatkan Gunung Mandalasakti terbelah. Berkat kesaktian Batara Tuntang Buana, gunung yang terbelah tersebut dibalut (disimpay) sehingga tidak hancur. Gunung Mandalasakti yang terletak di Kecamatan Situraja kemudian dikenal dengan nama Gunung Simpay. Setelah selesai mendalami ilmu kasumedangan, Batara Tuntang Buana mendirikan Kerajaan Sumedanglarang. Ketika naik takhta kerajaan, Batara Tuntang Buana mendapat nama Prabu Taji Malela.

Prabu Taji Malela digantikan oleh anaknya yang bernama Prabu Gajah Agung. Pada masa ini pusat kerajaan di Ciguling. Prabu Gajah Agung kemudian digantikan oleh Sunan Pagulingan. Ketika pemerintahan berada di bawah Sunan Pagulingan, terjadi perkawinan politis antara Ratu Rajamantri, putri Sunan Pagulingan, dengan Prabu Siliwangi, Raja Sunda Pajajaran. Sejak perkawinan ini Kerajaan Sumedanglarang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Sunan Pagulingan digantikan oleh Ratu Rajamantri selanjutnya digantikan oleh Sunan Guling. Pada masa pemerintahan Pangeran Pamelekaran, pusat kerajaan dipindahkan ke Kutamaya.

Ketika Sumedanglarang di bawah kepemimpinan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Sunda mengalami masa surut. Prabu Geusan Ulun mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda. Usaha ini mendapat tekanan dari Banten yang sebelumnya sudah berhasil memerangi Kerajaan Sunda Pajajaran. Menghadapi tekanan tersebut, Sumedanglarang mencari dukungan ke Cirebon. Pada masa ini pusat kerajaan dipindahkan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur yang berada pada kawasan perbukitan. Pada tahun 1610 Geusan Ulun wafat. Kepemimpinan kerajaan Sumedanglarang kemudian digantikan oleh Aria Suriadiwangsa I. Suksesi ini sepertinya tidak berjalan lancar, karena putra Geusan Ulun lainnya yang bernama Rangga Gede juga diangkat menjadi penguasa Sumedanglarang. Perpindahan pusat kerajaan terjadi lagi. Aria Suriadiwangsa memindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegalkalong, sedangkan Rangga Gede memindahkan ke Canukur.

Beberapa Tinggalan Arkeologis
Berdasarkan historiografi tradisional, tercatat beberapa pemukiman yang juga sebagai pusat kerajaan Sumedanglarang, yaitu Tembong Agung, Ciguling, Kutamaya, Dayeuh Luhur, Tegalkalong, dan Canukur. Jejak-jejak arkeologis di beberapa lokasi yang disebutkan sumber historiografi sudah sulit diketahui. Tinggalan arkeologis di kawasan Sumedang kebanyakan berupa makam-makam tokoh seperti makam Prabu Taji Malela di Gunung Lingga, makam Prabu Gajah Agung di Cicanting daerah Darmaraja, makam Sunan Pagulingan dan Sunan Guling di Ciguling, serta makam Sunan Tuakan di Heubeul Isuk, Pasanggrahan.

Di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Darmaraja yang disebut-sebut sebagai lokasi Kerajaan Tembong Agung, sangat sedikit mengandung fakta arkeologis yang menjadi indikator pemukiman. Lokasi ini berada di sebelah barat aliran Sungai Cimanuk. Jejak pemukiman yang ada berupa sebaran fragmen keramik asing dan lokal yang berada pada kebun penduduk di perkampungan. Keramik yang pernah ditemukan merupakan keramik Cina masa Dinasti Qing.

Di sebelah utara perkampungan terdapat bukit kecil yang disebut Pasir Limus. Pada puncak bukit terdapat makam keramat. Tokoh utama yang dimakamkan adalah Eyang Jamanggala. Makam berpagar bambu. Jirat makam berupa tatanan batu berdenah empat persegi panjang. Nisan berupa batu alam tanpa dimodifikasi. Di sebelah tenggara makam utama terdapat makam Eyang Istri Ratna Komala Inten. Jirat makam juga berupa tatanan batu alam berdenah empat persegi panjang. Nisan dari batu alam. Di sebelah timur kedua makam ini terdapat monolit. Di sebelah barat daya makam Eyang Jamanggala terdapat beberapa makam kuno yang ditandai dengan nisan batu alam. Di sebelah timur kelompok makam ini terdapat monolit. Pada bagian komplek makam ini terdapat jejak tatanan batu membentuk bangunan berundak.

Di sebelah timur kelompok makam ini berjarak sekitar 25 m terdapat makam keramat yang ditandai dengan kumpulan batu. Makam ini berada di bawah pohon beringin. Tokoh yang dimakamkan adalah Eyang Jayaraksa atau dikenal juga dengan sebutan Eyang Nanti. Makam ini disebut juga Petilasan Tilem.

Di sebelah timur perkampungan juga terdapat komplek makam yang dikeramatkan. Komplek makam dikelilingi parit kecil. Jalan masuk berada di sisi selatan. Tokoh yang dimakamkan adalah Eyang Marapati dan Eyang Martapati. Makam Eyang Marapati berada di bagian barat. Kondisi makam berpagar bambu. Jirat makam berupa tatanan batu berdenah empat persegi panjang. Pada bagian selatan, tatanan batu tersebut agak menonjol. Jirat dilengkapi nisan dari batu alam. Makam Eyang Martapati berada di sebelah timur makam Eyang Marapati, berjarak sekitar 20 m. Kondisi makam juga berpagar bambu. Jirat berupa tatanan batu berdenah empat persegi panjang. Bila dibandingkan dengan jirat makam Eyang Marapati, volume batu jirat makam Eyang Martapati lebih sedikit. Nisan makam Eyang Martapati juga berupa batu alam.

Di sepanjang aliran Sungai Cimanuk masih banyak lagi situs-situs yang berupa makam kuno yang dikeramatkan. Kebanyakan situs tersebut dikaitkan dengan kerajaan Sumedanglarang atau masa-masa sesudahnya. Pada umumnya situs berada pada puncak bukit. Situs-situs yang berasal dari masa yang lebih tua terdapat di Gunung Tampomas, Kecamatan Buah Dua dan di Desa Narimbang, Kecamatan Congeang. Di Gunung Tampomas terdapat dua objek situs arkeologi, yaitu di Sanghiang Taraje dan Puncak Manik sedangkan di Narimbang terdapat lokasi yang disebut Blok Candi.

Beberapa peninggalan arkeologis yang terdapat di kawasan Gunung Tampomas pernah beberapa kali diteliti. N.J. Krom pada 1914 pernah mencatat adanya bangunan berundak dari batu-batu terdiri empat teras. Untuk mencapainya ia melalui sebuah tangga batu. Di puncak bangunan berundak terdapat patung Ganesha, batu dengan tanda bekas kaki dan enam benda kecil antara lain berbentuk genta (kolotok) dan satu lagi berbentuk landasan (Krom, 1915: 65).

Pada Januari 1987, Lucas Partanda Koestoro dari Laboratorium Paleoekologi dan Radiometri, Bandung (sekarang Balai Arkeologi Bandung) mengadakan penelitian deskriptif terhadap peninggalan di Sanghiang Taraje. Uraian hasil penelitiannya menguraikan kondisi dan dimensi bangunan berundak. Beberapa objek penting yang dicatatnya adalah arca menhir dari batuan andesit di halaman pertama, batu tatapakan (umpak), batu ajeg (batu yang didirikan tegak), dan batu kasur yang terdapat di halaman ketiga (Koestoro, 1987: 38-39). Di sebelah tenggara Sanghiang Taraje terdapat situs Puncak Manik. Di Puncak Manik terdapat objek berupa arca Ganesha, arca binatang dan sebuah bentuk tumpeng.

Arca Ganesha yang terdapat di Puncak Manik dari bahan batuan andesitik. Ganesha digambarkan secara sederhana dalam posisi duduk, tangan kiri dilipat di depan dada, tangan kanan memegang ujung belalai. Arca binatang menggambarkan harimau dan monyet. Binatang tersebut digambarkan dalam posisi sedang berjongkok. Kaki belakang ditekuk dan kaki depan lurus (Yondri, 1988).

Pada lereng sebelah timur Gunung Tampomas terdapat lokasi yang disebut Blok Candi. Secara administratif lokasi tersebut merupakan wilayah Desa Narimbang, Kecamatan Congeang. Di lokasi ini terdapat struktur teras batu berorientasi utara-selatan. Panjang 6,40 m dengan ketebalan 40 cm. Menurut keterangan masyarakat setempat pada sekitar tahun 1998 telah ditemukan arca batu.

Arca ini sekarang disimpan Sdr. Ifan, warga Desa Narimbang. Arca terbuat dari bahan batuan tufa bewarna kemerahan. Kondisi arca sudah tidak lengkap, pada bagian kepala patah. Ukuran tinggi 45 cm, lebar 25 cm, dan tebal 15 cm. Penggambaran sangat sederhana. Kedua tangan digambarkan dalam sikap menyilang di dada. Tangan kiri berada di atas tangan kanan. Bagian perut hingga kaki tidak digambarkan. Tepat di atas persilangan dua tangan terdapat semacam ujung belalai yang menjulur ke arah kanan.

Gunung Dalam Kehidupan Masyarakat
Tindakan Prabu Siliwangi dalam peristiwa "Burak Pajajaran" mirip dengan apa yang dilakukan Dharmawangsa Airlangga menghadapi mahapralaya dari Haji Wurawari. Perbedaannya, Prabu Siliwangi yang lari ke Gunung Tampomas tidak dalam usaha konsolidasi untuk menegakkan kembali Kerajaan Sunda Pajajaran melainkan untuk menekuni ajaran agama yang dianutnya setelah kerajaannya menghadapi kehancuran. Sedangkan Dharmawangsa Airlangga menuju wanagiri dalam rangka menunggu saat yang tepat untuk menegakkan kembali kerajaannya. Hal penting yang perlu dicatat adalah peranan gunung sebagai tempat untuk mendapatkan pencerahan. Prabu Siliwangi di Gunung Tampomas mencari pencerahan untuk memasuki alam kedewaan dan akhirnya ngahiang, sedangkan Dharmawangsa Airlangga mencari pencerahan untuk menyusun kekuatan. Gunung Tampomas sebagai gunung suci dijadikan tujuan akhir Prabu Siliwangi untuk menuju alam kedewaan.

Beberapa tinggalan arkeologis yang terdapat di Sanghiang Taraje dan Puncak Manik menunjukkan bahwa gunung itu merupakan gunung suci. Konsepsi tentang gunung suci muncul sejak masa prasejarah. Pada masa klasik konsep tentang gunung suci ditandai dengan bangunan suci yang berada di lereng gunung. Gunung Lawu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, pada sekitar abad ke-15 juga dikenal sebagai gunung suci. Di lereng barat terdapat Candi Sukuh dan Candi Ceta. Kedua bangunan candi ini lebih menyerupai bangunan berundak. Selain kedua bangunan candi juga terdapat punden Cemoro Bulus dan Planggatan. Kedua bangunan ini berbentuk bangunan teras berundak yang lebih kecil dibandingkan dengan Candi Sukuh atau Ceta. Menurut Bernet Kempers (1959: 101) Candi Sukuh merupakan bangunan suci yang dijadikan sebagai sarana pembebasan arwah nenek moyang. Relief cerita Sudamala yang bertemakan tentang pembebasan menunjukkan bahwa pembangunan Candi Sukuh ada kaitannya dengan pembebasan. Dengan demikian, pendirian bangunan candi tersebut juga mengandung maksud penghormatan terhadap Gunung Lawu dalam rangka pembebasan jiwa.

Gunung tersebut dianggap keramat sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur yang telah meninggal. Di Jawa Timur tinggalan arkeologi yang menunjukkan adanya hubungan antara bangunan suci dengan gunung, tampak jelas. Di Gunung Penanggungan banyak ditemukan bangunan suci berbentuk teras berundak yang memanfaatkan kemiringan lereng atau gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan suci tersebut berasal dari sekitar abad ke-10 – 11 (Kempers, 1959: 65-67). Beberapa bangunan suci di lereng gunung dan gunung itu sendiri erat kaitannya dengan konsep pelepasan menuju alam kedewaan.

Konsep gunung suci dan pelepasan dalam kaitannya dengan Gunung Tampomas hanya berhubungan dengan Kerajaan Sunda Pajajaran. Pada masa Kerajaan Tembong Agung, awal mula Kerajaan Sumedang Larang, dan masa-masa sesudahnya, tampak bahwa konsep gunung suci mengacu pada gunung atau bukit yang berada dekat dengan pusat kerajaan. Di sebelah utara lokasi bekas Kerajaan Tembong Agung terdapat situs Pasir Limus. Pada situs tersebut terdapat jejak-jejak sisa bangunan berundak dan beberapa makam kuno yang dikeramatkan. Struktur bangunan makam kuna tampak berada pada struktur bangunan berundak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bangunan makam lebih kemudian bila dibandingkan dengan bangunan berundak.

Bangunan berundak yang ada di situs Pasir Limus belum tentu menunjukkan latar religi megalitik dari masa prasejarah. Di tatar Sunda pada masa klasik akhir, antara agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan asli leluhur bercampur. Dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian disebutkan "ini na lakukeuneun, talatah sang sadu jati hongkara namo sewaya, sêmbah ing hulun di sanghyang pañcatatagata; pañca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda, gata ma ngaran ing raga, ya eta ma pahayuon sareanana" (inilah yang harus dilakukan, [yaitu] amanat Sang Baikhati (terpercaya) yang sejati. Selamatlah [hendaknya] dengan nama Siwa, menyembahlah hamba kepada Sanghyang Pañcatatagata [Buddha], pañca berarti lima, tata itu artinya sabda, gata itu artinya raga, ya itulah untuk kebaikan semuanya).

Pada bagian lain terdapat keterangan bahwa "mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang" (mangkubumi berbakti kepada ratu, ratu berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang). Berdasarkan keterangan tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya keagamaan yang melatari adalah Hindu, Buddha, dan pada akhirnya unsur kepercayaan asli muncul. Kemunculan kepercayaan asli dari para leluhur terlihat dari keterangan dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian yang menurunkan derajat Dewata berada di bawah Hyang (Sumadio, 1990: 390-392; Ayatrohaédi, 1982: 337-338). Dalam kasus Kerajaan Tembong Agung tampak lebih ditekankan pada konsep pemujaan gunung suci. Pasir Limus merupakan Mahameru bagi Kerajaan Tembong Agung.

Quarith Wales mengaitkan konsep Gunung Mahameru dengan pemujaan terhadap Siwa sebagai Girisa, yang memeroleh gelar sebagai penguasa gunung. Hubungan antara tanah (bumi) yang memberi kekuatan (kesuburan) dengan gunung suci adalah jelas. Hal itu disebabkan karena sakti Siwa, yaitu Uma Haimawati, anak perempuan dari Raja Gunung Himalaya, sebenarnya dipuja juga sebagai Dewi Gunung (Wales, 1953: 88). Pandangan tentang gunung sebagai tempat suci yang mengarah pada pemujaan gunung itu sendiri ada kaitannya dengan ajaran Siwa.

Pemilihan lokasi pusat-pusat Kerajaan Sumedanglarang sesudah masa Tembong Agung, cenderung mengandung unsur pengagungan terhadap gunung. Dengan adanya gunung suci menjadikan lokasi pemukiman masyarakat tersucikan pula. Konsepsi demikian ini sangat umum berlaku pada tatanan pemukiman tradisional. Tiap kebudayaan tradisional akan memperlihatkan suatu tatanan yang keramat, meluas dari tempat hunian (rumah) sampai ke perkampungan hingga seluruh lahan kawasan. Pada pemukiman-pemukiman tradisional, karena agama dan upacara keagamaan adalah sentra,l maka organisasi tersebut sering didasarkan pada hal-hal yang keramat. Dengan demikian, memahami perkampungan tradisional menghendaki bahwa perkampungan dianggap sebagai ekspresi-ekspresi fisik ruang keramat (Rapoport, 1985: 28).

Konsepsi tentang ruang keramat dalam kaitannya dengan pemukiman. Bila dihubungkan dengan keberadaan Gunung Tampomas akan didapatkan gambaran mengenai pemukiman pada masa klasik akhir di kawasan Sumedang. Di Gunung Tampomas, situs-situs yang menunjukkan bangunan sakral berada pada lereng utara dan timur. Pada bagian lereng tersebut mungkin merupakan lokasi pemukiman.

Di Desa Narimbang yang berada pada kaki Gunung Manglayang sisi timur laut terdapat lokasi yang disebut kabuyutan. Objek berupa tatanan batu terhampar. Di antara tatanan batu terdapat dua batu berdiri menyerupai nisan. Kedua batu berdiri itu beroerientasi utara-selatan. Tatanan hamparan batu berada di bagian utara batu berdiri. Objek batu berdiri dan tatanan hamparan batu itu dikelilingi pagar dari susunan batu berdenah empat persegi panjang. Pada pagar sisi timur terdapat jalan masuk. Pagar keliling ini merupakan hasil buatan masyarakat setempat. Menurut keterangan masyarakat setempat kabuyutan ini merupakan makam Sutawijaya (Hadiwisastra dan Saptono, 2005: 7).

Di desa ini juga terdapat makam keramat yang disebut Makam Sawah Kalapa. Jalan masuk menuju komplek berada di sebelah selatan. Makam tokoh utama berada di dalam bangunan cungkup, terletak di bagian timur laut komplek. Cungkup merupakan bangunan baru semi permanen berlantai ubin. Pintu masuk cungkup berada di sisi barat. Menurut keterangan, tokoh utama yang dimakamkan adalah Embah Secagati. Tokoh ini merupakan cikal bakal masyarakat kampung Narimbang. Di dalam cungkup, selain makam Embah Secagati juga terdapat makam istrinya. Makam Embah Secagati berada di sebelah timur, sedangkan makam istrinya di sebelah barat. Makam Embah Secagati maupun istrinya tidak dilengkapi jirat. Nisan sebagai tanda makam berupa batu panjang yang ditancapkan. Di luar cungkup banyak dijumpai makam baik makam lama maupun baru. Makam-makam tersebut terkonsentrasi di sebelah barat cungkup makam Embah Secagati. Kebanyakan makam tidak dilengkapi jirat, namun ada yang dibatasi dengan susunan batu berdenah empat persegi panjang. Salah satu makam yang berada di sebelah barat cungkup makam utama, susunan batu keliling berpola swastika. Nisan kebanyakan berupa batu panjang yang diberdirikan (Hadiwisastra dan Saptono, 2005: 7-8). Dengan adanya beberapa bangunan suci di Gunung Tampomas dan beberapa objek di Desa Narimbang terdapat gambaran bahwa di kawasan lereng utara hingga timur Gunung Tampomas merupakan lokasi pemukiman yang berlangsung sejak masa klasik akhir hingga masa Islam.

Simpulan
Gunung memunyai arti penting dalam konsep kepercayaan. Gunung dipandang sebagai objek suci untuk mendapatkan pencerahan. Pada masa klasik akhir di Sumedang, yaitu masa menjelang keruntuhan Kerajaan Sunda Pajajaran, Gunung Tampomas merupakan gunung suci bagi masyarakat setempat. Peristiwa "Burak Pajajaran", memberikan gambaran bahwa Gunung Tampomas merupakan gunung suci tempat Prabu Siliwangi menuju alam kedewaan (ngahiang). Beberapa tinggalan arkeologis di Sanghiang Taraje, Puncak Manik, dan beberapa objek di Desa Narimbang menunjukkan bahwa Gunung Tampomas diperlakukan sebagai Gunung Suci.

Keruntuhan Kerajaan Sunda Pajajaran mendorong berdirinya Kerajaan Sumedanglarang. Konsep kepercayaan terhadap gunung suci tetap berlanjut. Historiografi tradisional menyebutkan bahwa Batara Tuntang Buana memperdalam ilmu kasumedangan di Gunung Mandalasakti. Dalam kaitannya dengan pemukiman, terlihat ada hubungan antara konsep gunung suci dengan pemilihan lokasi pemukiman. Beberapa lokasi pusat Kerajaan Sumedanglarang berada pada kawasan perbukitan. Pada masa klasik akhir diperkirakan lokasi pemukiman berada di sekitar lereng utara hingga timur Gunung Tampomas.



Catatan: Tulisan ini dimuat di buku berjudul "Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan", hlm. 43-54. Editor: Prof. Dr. Edi Sedyawati. Penerbit: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat - Banten, 2006.